KARYANTA
Desember, 2013
SAYANG TLAH PERGI
Hari ini,
Kamis, tanggal 12-12-13, aku meluncur di JJLS yang belum sempurna. Sebagian
sudah beRstandar nasional sebagian belum. Yang membentuk sambungan lebar dan
sempit. Beberapa kendaraan berat yang lewat tidak berani melaju kencang karena hujan mulai datang. Aku
berpapasan dengan beberapa bus pariwisata yang pulang dari Pantai Baron.
Huhf ....!
Minggu ini JJLS sangat padat.
Beberapa motor
kulampaui untuk cepat-cepat tiba di SMK Tanjungsari tempat aku ngajar pencak
silat ... senyum Panji membayangi! ...Ya Allah. Untung tadi nggak ngajak Restu. Gimana aku jaga dia kalau sekarang
hatiku begitu trenyuh ... teringat perjuangan hidup Panji.... sejak kelas dua SMP Panji sudah mengajar
Pencak Silat ASAD di Padepokan TROWONO, melaui jalan ini!
Panji yang baru berumur lima belas tahun telah bercita-cita besar. Ini
aku baca di Diary Panji yang kutemukan di tengah net booknya. Setelah beberapa
prestasi yang diraih, seperti juara tiga katagori TGR SD tingkat Kab.
Gunungkidul, juara dua katagori TGR SMP tingkat kabupaten dan Juara dua
Kejuaraan Remaja Persinas ASAD Pengda DIY, Panji ingin menjadi wasit pencak
silat nasional. Setidaknya sampai tingkat provinsi untuk megangkat nama
PERSINAS ASAD di DIY. Hal yang sudah dipersiapkan antara lain, belajar jurus
tunggal baku dengan rincian geraknya, dengan cara melatih teman seusia Panji.
Berusaha menghafal jurus regu, latihan tanding, belajar kategori ganda dan
sering nonton pertandingan pencak silat. Pertandingan Invitasi Mahasisiwa
Nasional bulan Juni 2013 lalu juga
ditonton sambil mempelajari berbagai gaya seorang wasit.
Buku-buku
peraturan pertandingan, penjurian, perwasitan, kepelatihan menjadi koleksi yang
sangat digemari.
Untuk biaya, Panji sudah mempersiapkan
jauh-jauh hari. Memelihara kambing menjadi
pilihan sejak kelas lima SD. Dari seekor kambing betina .. Panji sudah bisa
kurban sendiri , beli net book dan print seharga empat juta yang berpatungan
dengan Akyun dan Mak Ni. Dari penjualan kambing seharga Rp. 1.700.000,- dan
dari uang tabungan Akyun sebesar Rp. 1.300.000,- kemudian ditambahi uang mamaknya Rp. 1.000.000,- Sampai Panji meninggal ...
jumlah kambingnya masih lima ekor.
‘Duh … le !
hujan seperti ini Restu kau selipkan di bawah kakimu agar tidak basah, kamu ngajar pencak silat sambil
momong! ….Panji, aku bangga padamu! Aku sangat bersyukur dikarunia anak seperti
kamu. Dengan kondisi sakit yang tidak pernah diduga. Karena ternyata kanker
yang menggerogotimu telah menyerang semua rusukmu yang tidak mungkin
diamputasi. Tulangmu bagai ayam potong yang di presto, kamu
masih beramal solih gotongan kayu di Alas Gedor milik nenek … untuk sodakoh pembangunan masjid ... Bagi anak
seusimu, itu sungguh luar biasa!’
Dengan
keangkuan seorang ayah… aku bersikeras membawa Panji pulang dari rumah sakit
Nur Hidayah dalam kondisi Oestero Sarcoma stadium lanjut. Sementara Mak Ni
bersikukuh melanjutkan rujukan karena memang kelas rumah sakit ini tidak
diperkenankan menangani penyakit Panji. Kami dibingungkan dengan dua pendapat
yang berbeda … Tapi justru aku menyerahkan pilihan pada Panji. …. Kejam memang.
Dalam kondisi terengah-engah karena penyebaran penyakitnya sudah sampai paru-
paru aku meminta pendapat Panji … untuk pulang atau melanjutkan rujukan. …
Panjipun bingung di tengah kebingunganku.
Namun diluar
dugaan Panji justru menanyakan bagaimana dia sholat dan menjaga kesucian
seandainya kembali opnam di rumah sakit,
“Pak,gimanasholatsayananikalaudirumahsakit?” “…..ya
seperti di rumah sakit lainnya, untuk menjaga kesucian sangat sulit. Berbeda
kalau dirumah. Sewaktu-waktu kena najis bisa segera disucikan.”
“ Tapi kalau
aku dirumah …. Tidak pakai oksigen? Aku tidak kuat …,” jelas Panji
terengah-engah seperti tadi malam ketika berjuang mengirup udara dengan paru sesak dan terbatasnya persediaan oksigen. “Kalau
kamu di rumah, bapak sanggup mencarikan tabung oksigen yang besar. Sekarang Lek Maryono
sudah mengisikan tabung yang kecil,” “Sekaranggimana, le?” Panji masih terengah-engah.
Pengasapan yang dilakukan dokter tadi tidak berarti banyak. Kondisi paru-parunya…..bahkan
dahaknya sudah mulai memerah.
“Aku kan,
anakmu, to pak? Aku manut bapak dan mamak. …. Tapi kalau bapak dan mamak
binggung? Aku juga bingung,” Aku
terharu melihat keterbataan Panji melawan sakitnya. “Sementara
aku sudah termotifasi dengan omongan bapak. Dari pada untuk kemo aku memilih biaya itu disodakohkan
ke pembangunan masjid. Seandainya nanti aku mati … aku punya amal jariyah yang
mengalir. …. aku memilih kemo kepada Allah.” “Justru itu, le,” potongku
sambil memegang jemarinya. Mataku mulai memerah … Kutatap
Mak Ni semakin berkaca-kaca. Sementara Lek Tinah yang sejak tadi tegar mulai menitikkan air mata, “Bapak
menghendaki pulang, sementara mamak meneruskan rujukan. Kami berbeda pendapat
padahal bapak dan mamak memikirkan orang yang sama, kamu! Makanya bapak minta pendapatmu…,” “Aku
bingung, dong pak?” “Kalau aku berbeda
pendapat dengan mamak? ….aku dosa enggak?” “Le,…. Ini musyawarah. Kamu tidak
harus sama dengan mamak. Artinya kalau pendapatmu tidak sama dengan mamak itu kamu
tidak dosa. …. Karena ini rembugan, le.”
“Aku masih
bingung, pak?” “Aku
nurut kalian saja.” “Itulah
le, masalahnya. Bapak ingin membawamu pulang sementara mamak terus ke RS
Sardjito,” jelasmu bingung….
Aku terus mengulur waktu walau suster sudah beberapa kali
memanggil karena kamar di RS Sadjito
yang dirujuk telah dipersiapkan, “Begini,
le….Sekarang kamu berdoa lima menit pada Allah untuk memohon ilham. Mak Ni
juga. Nanti kita padukan.”
Kulihat Mak Ni setuju. Panji juga. Dan gemuruh pasien
lain yang datang mencampuri kekusyukan yang ada. …. Ya .. Allah, beri yang terbaik untuk kami.
Perlihatkan mukjizatmu untuk kesembuhan Panji tanpa menjalani kemo terapi.
Semua berasal dariMU dan kuserahkan semuanya padaMU …..,
“Gimana, le?” Panji
diam. “Mak
Ni?” Mak
Ni hanya menghela nafas. “Panji?”
kataku mengulang.
Dalam
ketegaran seorang Muhammad Panji Pamulang, dengan gagah Panji menjawab ….. pulang! Jawaban yang di luar dugaan. Sebab
minggu lalu Panji minta dikemo ….. dan aku sudah membawanya sampai di RS
Bethesda tapi bangsal dan kamar kemo ternyata
kosong untuk 3-4 hari mendatang. Sementara Mak Ni hanya menghela nafas panjang. Kelihatan tidak
setuju dengan keputusan Panji.
“Mak Ni?” “Kita
usaha yang terbaik!” “Kita
usaha yang terbaik itu ….. di rumah bisa?” tanyaku balik pada Mak Ni. “ …. Bisa,” jawab
Mak Ni berat. “Berarti
kita pulang!” tegasku karena sebuah keyakinan akan pertolongan yang dijanjikan
Allah bagi orang-orang yang beriman. Orang-orang yang mau berdoa kepadaNYA.
Sabtu pagi, 14 September 2013
Aku merasa payah
dengan apa yang diujikankan Allah…..aku …..
dan aku melihat raga Panji sudah lelah menahan sakit. Sementara
bebayunya tak kuasa menahan rasa, sebagian tubuh Panji telah mati. Panji
hanya tidur. Mak Ni di pojok joglo
sebelah selatan kudekati. Kupeluk dia untuk memberi semangat, karena apa yang
akan aku katakan nanti,
“Mak Ni,” kataku setelah melepasnya,
“Menurut firasatku … dan ini pengalaman kita ketika
ngramut simbok di Jakarta,” aku menghela nafas,
“Waktu itu simbok minta pulang …. Itu bermakna dua.
Simbok minta pulang ke rumah berarti simbok sembuh atau simbok minta ‘pulang’ berarti simbok
meninggal . Akhirnya simbok meninggal di
Jakarta … Lalu ketika kita menjenguk Mas
Gangsar di Bethesda, dia juga minta pulang. Namun keluarganya kurang nggraito …. Maunya jika pulang sudah
sembuh. ….. Akhirnya Mas Gangsar meninggal di rumah sakit,”
Mak Ni menangis, sudah menduga apa yang akan kukatakan,
“Kemarin …..Panji kita bawa ke rumah sakit, Panji minta
pulang padahal seminggu yang lalu Panji minta dikemo. Kita akan menuruti
permintaan Panji tetapi Panji memilih pulang. Menurutku ini bermakna dua. Kalau
Panji akan sembuh maka cepat sembuh tetapi jika Panji akan dipanggil juga akan
cepat. … Mak Ni, kamu harus siap,”
“Suka atau tidak suka, siap atau tidak siap … menurutku
Panji harus diberi tahu. Aku lebih senang Panji siap mati dari pada siap sembuh …. mumpung masih ada
waktu untuk Panji.”
“Ya, pak,” jawab Mak Ni berat.
Kembali kupeluk
Mak Ni seolah kami telah kehilangan Panji.. Lalu mendekat ke dipan Panji yang
ada di dekat soko guru …
“Le …,” tumpah air mataku.
Hampir sepuluh menit aku menangis karena sedih dan sukur,… sedih
karena Panji sakit dan sukur …. Walaupun Panji menderika kanker tulang sedemikian parah dia tetep PD, tetap semangat ibadah, pantang menyerah.
Panji tetap manja!
“Le, suka atau tidak
suka, hal ini harus bapak omongkan ke kamu …. Ketika kamu minta pulang,
menurut pengalaman bapak itu artinya dua. Kalau tidak mari yo mati..”
“Ya pak,” jawabnya enteng. Tidak ada beban sedikitpun di
raut itu.
“Kamu harus selalu berdoa dan yakin sembuh, tetapi kamu
juga siap mati…ya le?”
“Panji siap, pak.”
Ada perasaan lega ….
“Alhamdulillah! … itu lho le kelebihanmu … kalau nenek
dulu begitu bangun tidur langsung dzikir, istigfar ….” Aku memberi isarat
dengan menekuk jari, menirukan neneknya dulu,
“Sementara kamu tidak le. Matamu tetap jelalatan. Tetapi
Allah memberi kekuatan dan kesabaran atas penyakitmu. …. Ada orang yang diberi
derajat surga tinggi tetapi pengamalannya tidak cukup untuk derajat itu. Sehingga
… Allah memberi sakit, tapi Allah juga memberi kesabaran sampai derajat
surganya tercapai,” jelasku memberi
semangat,
“Semoga salah satu orang itu …. kamu le.”
“Pak, mamak … apa aku ini anak yang soleh?”
Mak Ni menagis.
“Ya. Bapak dan mamak menyaksikan kalau kamu anak yang
soleh,” kata Mak Ni,
“Mamak betul-betul bersukur di karunia anak kamu,” Mak Ni
memeluk kepala Panji …..
Di saat terakhirnya Panji sempat
menayakan kalau orang mati itu masih punya dosa. Aku jawab … ya
orang itu akan disiksa dulu didalam neraka sampai dosanya habis dan baru akan
dimasukkan kedalam surga.
Panji
menyatakan taubat setelahnya.
Duh le, semoga itu menjadi jalanmu. Kalau diberi
kesembuhan semoga cepat dan kalau akan dipanggil juga cepat. Kamu harus yakin sembuh tetapi kamu juga harus
siap mati. Panji Siap … dan .. Alhamdulillah Panji meninggal dalam keadaan
khusnul kotimah.
Sesaat setelah
Panji meninggal, …..Mak Ni meminta semua saudara untuk mencium Panji.
Dengan syarat, tanpa tangis dan tanpa
air mata, sebagai wujud rasa sayang seluruh keluarga untuk yang terakhir kali.
Mak Ni mencium kening Panji, kemudian aku … , lalu Akyun, terus Intan dan semua saudara yang menyayangi Panji. Mak Ni menatap
sejenak sebelum melepas kepergiannya … dan Klik! Wajah terakhir Panji
terabadikan di HP mbak Eli.
Lalu … aku
sungguh kehilangan Panji.